Halaman

Rabu, 09 November 2011

TUJUAN HUKUM

Berkenaan dengan tujuan hukum, kita mengenal beberapa pendapat sarjana

ilmu hukum yang diantaranya sebagai berikut :

PROF. SUBEKTI, S.H

Dalam buku yang berjudul “Dasar-dasar Hukum dan Pengadilan," Prof.Subekti,

S.H mengatakan, bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan Negara yang dalam

pokoknya ialah “mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya”.

Hukum, menurut Prof. Subekti, S.H melayani tujuan Negara tersebut dengan

menyelenggarakan “keadilan” dan “ketertiban”, syarat-syarat pokok untuk

mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan. Ditegaskan selanjutnya, bahwa

keadilan itu kiranya dapat digambarkan sebagai suatu keadilan keseimbangan yang

membawa ketentraman di dalam hati orang, dan jika diusik atau dilanggar akan

menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan.

Keadilan selalu mengundang unsur “penghargaan,” “penilaian” atau

“pertimbangan” dan karena itu ia lazim dilambangkan suatu “neraca keadilan.”

Dikatakan bahwa keadilan itu menuntut bahwa “dalam keadaan yang sama setiap

orang harus menerima bagian yang sama pula”.

Dari mana asalnya keadilan itu? Keadilan, menurut Prof. Subekti, S.H, berasal

dari Tuhan Yang Maha Esa; tetapi seorang manusia diberi kecakapan atau

kemampuan untuk meraba atau merasakan keadaan yang dinamakan adil. Dan

segala kejadian di alam dunia ini pun sudah semestinya menumbuhkan dasar-dasar

keadilan itu pada manusia.

Dengan demikian maka dapat kita lihat bahwa hukum tidak saja harus mencari

keseimbangan antara perbagai kepentingan yang bertentangan satu sama lain, untuk

mendapatkan “keadilan” tetapi hukum juga harus mendapatkan keseimbangan lagi

antara tuntutan keadilan tersebut dengan tuntutan “ketertiban” atau “kepastian

hukum”.

PROF. MR. DR. L.J. VAN APELDOORN

Prof. van Apeldoom dalam bukunya “Inleiding tot de studie van het Nederlandse

recht” mengatakan, bahwa tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup manusia

secara damai. Hukum menghendaki perdamaian.

Perdamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi

kepentingan-kepentingan hukum manusia tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa,

harta benda pihak yang merugikannya.

Kepentingan perseorangan selalu bertentangan dengan kepentingan golongan-

golongan manusia. Pertentangan kepentingan ini dapat menjadi pertikaian bahkan

dapat menjelma menjadi peperangan, seandainya hukum tidak bertindak sebagai

perantara untuk mempertahankan perdamaian.

Adapun hukum mempertahankan perdamaian dengan menimbang kepentingan

yang bertentangan itu secara teliti dan mengadakan keseimbangan diantaranya,

karena hukum hanya dapat mencapai tujuan, jika ia menuju persatuan yang adil;

artinya peraturan pada manusia terdapat keseimbangan antara kepentingan-

kepentingan yang dilindungi, pada setiap orang memperoleh sebanyak mungkin

yang menjadi bagiannya Keadilan tidak dipandang sama arti dengan persamarataan.

Keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama.

Dalam tulisannya “Rhetorica,” Aristoteles membedakan dua macam keadilan,

yaitu keadilan “distributif” dan keadilan “komutatit”.

Keadilan distributif ialah keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah

menurut jasanya (pembagian menurut haknya masing-masing).

Ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya;

bukan persamaan melainkan kesebandingan.

Dalam hal ini Prof, van Apeldoom memberi contoh yang berikut: “Bila dalam

pasal 5 Undang-Undang Dasar Belanda mengatakan: Tiap-tiap orang belanda dapat

diangkat tiap-tiap jabatan, maka ini belum berarti bahwa tiap-tiap orang Belanda

mempunyai hak yang sama untuk diangkat menjadi Menteri, melainkan bahwa

jabatan-jabatan hanis diberikan kepada mereka yang berdasarkan jasa-jasanya dan

patut memperolehnya”.

Bandingkan dengan UUD-1945 pasal 27 ayat 2: (“Tiap-tiap warganegara berhak

atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”).

Keadilan komutatif ialah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama

banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perorangan. Ia memegang peranan

dalam tukar menukar; pada pertukaran barang-barang dan jasa-jasa dalam mana

sebanyak mungkin harus terdapat persamaan antara apa yang dipertukarkan.

Keadilan komutatif lebih-lebih menguasai hubungan antara perseorangan khusus,

sedangkan keadilan distributif terutama menguasai hubungan antara masyarakat

(khususnya negara) dengan perseorangan khusus.

TEORI ETIS

Ada teori yang mengajarkan, bahwa hukuman itu semata-mata menghendaki

keadilan. Teoni-teori yang mengajarkan hal tersebut dinamakan teori etis, karena

menurut teori-teori itu, isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis

kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.

Teori ini menunit Prof. van Apeldoom berat sebelah, karena ia melebihkan

kadar keadilan hukum, sebab ia cukup memperhatikan keadaan yang sebenarnya.

Hukum menetapkan peraturan-peraturan umum yang menjadi petunjuk untuk

orang-orang dalam pergaulan masyarakat. Jika hukum semata-mata menghendaki

keadilan, jadi semata-mata mempunyai tujuan memberi tiap-tiap orang apa yang

patut diterimanya, maka ia tak dapat membentuk peraturan-peraturan umum.

Tertib hukum yang mempunyai peraturan bukan, tertulis atau tidak tertulis, tak

mungkin, kata Prof. van Apeldoorn. Tak adanya peraturan umum, berarti

ketidaktentuan yang sungguh-sungguh mengenai apa yang disebut adil atau tidak

adil. Dan ketidaktentuan inilah yang selalu akan menyebabkan keadaan yang tidak

teratur.

Dengan demikian hukum harus menentukan peraturan umum, harus

menyamaratakan. Tetapi keadilan melarang menyamaratakan; keadilan menuntut

supaya setiap perkara harus ditimbang tersendiri.

Oleh karena itu kadang-kadang pembentuk undang-undang sebanyak mungkin memenuhi tuntutan tersebut dengan merumuskan peraturan-peraturannya sedemikian

rupa, sehingga hakim diberikan kelonggaran yang besar dalam melakukan peraturan-

peraturan tersebut atas hal-hal yang khusus.

GENY

Dalam “Science et technique en droit pn`ve positif,” Geny mengajarkan bahwa

hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan. Dan sebagai unsur daripada

keadilan disebutkannya “ kepentingan daya guna dan kemanfaatan”.

BENTHAM (TEORI UTILITIS)

Jeremy Bentham dalam bukunya “Introduktion to the morals and legislation”

berpendapat bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata apa yang

berfaedah bagi orang. Dan karena apa yang berfaedah kepada orang yang satu, mungkin merugikan orang lain, maka menurut teori utilitis, tujuan hukum ialah menjamin adanya

kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya. Kepastian

melalui hukum bagi perseorangan merupakan tujuan utama daripada hukum.

Dalam hal ini, pendapat Bentham dititikberatkan pada hal-hal yang berfaedah

dan bersifat umum, namun tidak memperhatikan unsur keadilan. Sebaliknya Mr J.H.P. Beefroid dalam bukunya “Inleiding tot de Rechtswetenschap in Nederland “mengatakanz “De inhoud van het recht dient te worden bepalald onder leiding van twee grondbeginselen, t.w.de rechtvaardigheid en de doeatigheid (isi hukum harus ditentukan menurut dua azas, yaitu asas keadilan dan faedah).

PROF. MR J. VAN KAN

Dalam buku “Inleiding tot de Rechtwetenschap” Prof.van Kan menulis antara

lain sebagai berikut: “J adi terdapat kaedah-kaedah agama, kaedah-kaedah kesusilaan,

kaedah-kaedah kesopanan, yang semuanya bersama-sama ikut berusaha dalam

penyelenggaraan dan perlindungan kepentingan-kepetingan orang dalam masyarakat.

Apakah itu telah cukup? Tidak! Dan tidaknya karena dua sebab yaitu :

Terdapat kepentingan-kepentingan yang tidak teratur baik oleh kaedah-kaedah agama, kesusilaan maupun kesopanan, tetapi temyata memerlukan perlindungan juga.

Juga kepentingan kepentingan yang telah diatur oleh kaedah-kaedah tersebut di atas, belum cukup terlindungi.

Oleh karena kedua sebab ini kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat

tidak cukup terlindungi dan terjamin, maka perlindungan kepentingan itu diberikan kepada hukum. Selanjutnya Prof. van Kan mengatakan, bahwa hukum bertujuan menjaga

kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan-kepentingan itu tidak dapat

diganggu. Jelas disini, bahwa hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian

hukum dalam masyarakat. Selain itu dapat disebutkan bahwa hukum menjaga dan

mencegah agar setiap orang tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri (eigenrichting is verboden), tidak mengadili dan menjatuhi hukuman terhadap setiap pelanggaran

hukum terhadap dirinya. Namun tiap perkara, harus diselesaikan melalui proses

pengadilan, dengan perantaraan hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar