Berkenaan dengan tujuan hukum, kita mengenal beberapa pendapat sarjana
ilmu hukum yang diantaranya sebagai berikut :
PROF. SUBEKTI, S.H
Dalam buku yang berjudul “Dasar-dasar Hukum dan Pengadilan," Prof.Subekti,
S.H mengatakan, bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan Negara yang dalam
pokoknya ialah “mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya”.
Hukum, menurut Prof. Subekti, S.H melayani tujuan Negara tersebut dengan
menyelenggarakan “keadilan” dan “ketertiban”, syarat-syarat pokok untuk
mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan. Ditegaskan selanjutnya, bahwa
keadilan itu kiranya dapat digambarkan sebagai suatu keadilan keseimbangan yang
membawa ketentraman di dalam hati orang, dan jika diusik atau dilanggar akan
menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan.
Keadilan selalu mengundang unsur “penghargaan,” “penilaian” atau
“pertimbangan” dan karena itu ia lazim dilambangkan suatu “neraca keadilan.”
Dikatakan bahwa keadilan itu menuntut bahwa “dalam keadaan yang sama setiap
orang harus menerima bagian yang sama pula”.
Dari mana asalnya keadilan itu? Keadilan, menurut Prof. Subekti, S.H, berasal
dari Tuhan Yang Maha Esa; tetapi seorang manusia diberi kecakapan atau
kemampuan untuk meraba atau merasakan keadaan yang dinamakan adil. Dan
segala kejadian di alam dunia ini pun sudah semestinya menumbuhkan dasar-dasar
keadilan itu pada manusia.
Dengan demikian maka dapat kita lihat bahwa hukum tidak saja harus mencari
keseimbangan antara perbagai kepentingan yang bertentangan satu sama lain, untuk
mendapatkan “keadilan” tetapi hukum juga harus mendapatkan keseimbangan lagi
antara tuntutan keadilan tersebut dengan tuntutan “ketertiban” atau “kepastian
hukum”.
PROF. MR. DR. L.J. VAN APELDOORN
Prof. van Apeldoom dalam bukunya “Inleiding tot de studie van het Nederlandse
recht” mengatakan, bahwa tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup manusia
secara damai. Hukum menghendaki perdamaian.
Perdamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi
kepentingan-kepentingan hukum manusia tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa,
harta benda pihak yang merugikannya.
Kepentingan perseorangan selalu bertentangan dengan kepentingan golongan-
golongan manusia. Pertentangan kepentingan ini dapat menjadi pertikaian bahkan
dapat menjelma menjadi peperangan, seandainya hukum tidak bertindak sebagai
perantara untuk mempertahankan perdamaian.
Adapun hukum mempertahankan perdamaian dengan menimbang kepentingan
yang bertentangan itu secara teliti dan mengadakan keseimbangan diantaranya,
karena hukum hanya dapat mencapai tujuan, jika ia menuju persatuan yang adil;
artinya peraturan pada manusia terdapat keseimbangan antara kepentingan-
kepentingan yang dilindungi, pada setiap orang memperoleh sebanyak mungkin
yang menjadi bagiannya Keadilan tidak dipandang sama arti dengan persamarataan.
Keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama.
Dalam tulisannya “Rhetorica,” Aristoteles membedakan dua macam keadilan,
yaitu keadilan “distributif” dan keadilan “komutatit”.
Keadilan distributif ialah keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah
menurut jasanya (pembagian menurut haknya masing-masing).
Ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya;
bukan persamaan melainkan kesebandingan.
Dalam hal ini Prof, van Apeldoom memberi contoh yang berikut: “Bila dalam
pasal 5 Undang-Undang Dasar Belanda mengatakan: Tiap-tiap orang belanda dapat
diangkat tiap-tiap jabatan, maka ini belum berarti bahwa tiap-tiap orang Belanda
mempunyai hak yang sama untuk diangkat menjadi Menteri, melainkan bahwa
jabatan-jabatan hanis diberikan kepada mereka yang berdasarkan jasa-jasanya dan
patut memperolehnya”.
Bandingkan dengan UUD-1945 pasal 27 ayat 2: (“Tiap-tiap warganegara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”).
Keadilan komutatif ialah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama
banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perorangan. Ia memegang peranan
dalam tukar menukar; pada pertukaran barang-barang dan jasa-jasa dalam mana
sebanyak mungkin harus terdapat persamaan antara apa yang dipertukarkan.
Keadilan komutatif lebih-lebih menguasai hubungan antara perseorangan khusus,
sedangkan keadilan distributif terutama menguasai hubungan antara masyarakat
(khususnya negara) dengan perseorangan khusus.
TEORI ETIS
Ada teori yang mengajarkan, bahwa hukuman itu semata-mata menghendaki
keadilan. Teoni-teori yang mengajarkan hal tersebut dinamakan teori etis, karena
menurut teori-teori itu, isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis
kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.
Teori ini menunit Prof. van Apeldoom berat sebelah, karena ia melebihkan
kadar keadilan hukum, sebab ia cukup memperhatikan keadaan yang sebenarnya.
Hukum menetapkan peraturan-peraturan umum yang menjadi petunjuk untuk
orang-orang dalam pergaulan masyarakat. Jika hukum semata-mata menghendaki
keadilan, jadi semata-mata mempunyai tujuan memberi tiap-tiap orang apa yang
patut diterimanya, maka ia tak dapat membentuk peraturan-peraturan umum.
Tertib hukum yang mempunyai peraturan bukan, tertulis atau tidak tertulis, tak
mungkin, kata Prof. van Apeldoorn. Tak adanya peraturan umum, berarti
ketidaktentuan yang sungguh-sungguh mengenai apa yang disebut adil atau tidak
adil. Dan ketidaktentuan inilah yang selalu akan menyebabkan keadaan yang tidak
teratur.
Dengan demikian hukum harus menentukan peraturan umum, harus
menyamaratakan. Tetapi keadilan melarang menyamaratakan; keadilan menuntut
supaya setiap perkara harus ditimbang tersendiri.
Oleh karena itu kadang-kadang pembentuk undang-undang sebanyak mungkin memenuhi tuntutan tersebut dengan merumuskan peraturan-peraturannya sedemikian
rupa, sehingga hakim diberikan kelonggaran yang besar dalam melakukan peraturan-
peraturan tersebut atas hal-hal yang khusus.
GENY
Dalam “Science et technique en droit pn`ve positif,” Geny mengajarkan bahwa
hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan. Dan sebagai unsur daripada
keadilan disebutkannya “ kepentingan daya guna dan kemanfaatan”.
BENTHAM (TEORI UTILITIS)
Jeremy Bentham dalam bukunya “Introduktion to the morals and legislation”
berpendapat bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata apa yang
berfaedah bagi orang. Dan karena apa yang berfaedah kepada orang yang satu, mungkin merugikan orang lain, maka menurut teori utilitis, tujuan hukum ialah menjamin adanya
kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya. Kepastian
melalui hukum bagi perseorangan merupakan tujuan utama daripada hukum.
Dalam hal ini, pendapat Bentham dititikberatkan pada hal-hal yang berfaedah
dan bersifat umum, namun tidak memperhatikan unsur keadilan. Sebaliknya Mr J.H.P. Beefroid dalam bukunya “Inleiding tot de Rechtswetenschap in Nederland “mengatakanz “De inhoud van het recht dient te worden bepalald onder leiding van twee grondbeginselen, t.w.de rechtvaardigheid en de doeatigheid (isi hukum harus ditentukan menurut dua azas, yaitu asas keadilan dan faedah).
PROF. MR J. VAN KAN
Dalam buku “Inleiding tot de Rechtwetenschap” Prof.van Kan menulis antara
lain sebagai berikut: “J adi terdapat kaedah-kaedah agama, kaedah-kaedah kesusilaan,
kaedah-kaedah kesopanan, yang semuanya bersama-sama ikut berusaha dalam
penyelenggaraan dan perlindungan kepentingan-kepetingan orang dalam masyarakat.
Apakah itu telah cukup? Tidak! Dan tidaknya karena dua sebab yaitu :
Terdapat kepentingan-kepentingan yang tidak teratur baik oleh kaedah-kaedah agama, kesusilaan maupun kesopanan, tetapi temyata memerlukan perlindungan juga.
Juga kepentingan kepentingan yang telah diatur oleh kaedah-kaedah tersebut di atas, belum cukup terlindungi.
Oleh karena kedua sebab ini kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat
tidak cukup terlindungi dan terjamin, maka perlindungan kepentingan itu diberikan kepada hukum. Selanjutnya Prof. van Kan mengatakan, bahwa hukum bertujuan menjaga
kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan-kepentingan itu tidak dapat
diganggu. Jelas disini, bahwa hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian
hukum dalam masyarakat. Selain itu dapat disebutkan bahwa hukum menjaga dan
mencegah agar setiap orang tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri (eigenrichting is verboden), tidak mengadili dan menjatuhi hukuman terhadap setiap pelanggaran
hukum terhadap dirinya. Namun tiap perkara, harus diselesaikan melalui proses
pengadilan, dengan perantaraan hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar