ABSTRAK
Peranan Ekonomi
Kerakyatan sebagai Landasan Perekonomian di Indonesia
Program Studi Manajemen Keuangan, Program D III
Bisnis dan Kewirausahaan,
Universitas Gunadarma, 2012
Kata Kunci: Ekonomi Kerakyatan
Sistem
ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi nasional Indonesia yang berasas
kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan
pemihakkan sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat.
Ekonomi
kerakyatan bukanlah bualan politis yang berisi janji-janji manis. Konsep yang
dapat begitu saja memikat orang untuk menerimanya tanpa mengerti bagaimana
sebenarnya bentuk dari konsep tersebut. Ekonomi kerakyatan juga bukan konsep
politis-populis sehingga bisa diartikan sendiri secara bebas mengikuti akal
sehat.
Namun,
pada pertengahan tahun 2009, di Indonesia, saat datangnya momentum Pemilu,
beberapa partai memperbincangkan tentang keberpihakan mereka kepada rakyat
kecil dengan mengusung isu tentang pelaksanaan sistem ekonomi kerakyatan, serta
berbicara keras dan berjanji memerangi kemiskinan dan pengangguran. Karena
menurut mereka, penanggulangan kemiskinan dan pengangguran tidak boleh hanya
menjadi upaya “anak bawang”, yang baru dipikirkan setelah masalah yang lainnya
selesai dibereskan.
Ekonomi
kerakyatan biasanya diperlawankan dengan ekonomi neoliberal. Seperti yang kita
ketahui, neoliberal merupakan paham ekonomi yang mengutamakan sistem kapitalis
perdagangan bebas, ekspansi pasar, penjualan BUMN, penghilangan campur tangan
pemerintah, dan pengurangan peran negara dalam layanan sosial, seperti pendidikan,
kesehatan, dan sebagainya.Beragam perdebatan definisi antara ekonomi kerakyatan
dan ekonomi neoliberal memang diperlukan, tapi tidak untuk rakyat sebagai
masyarakat awam.
Bagi
rakyat, yang penting adalah mengetahui dan memahami secara jelas keuntungan apa
saja yang dapat diperoleh rakyat ketika ekonomi kerakyatan diterapkan atau
sebaliknya, apa kerugian yang akan diterima rakyat saat ekonomi neoliberal
dijalankan. Pemahaman rakyat tentang untung-rugi tersebut akan jauh lebih
bermanfaat daripada mempersoalkan definisi ekonomi kerakyatan ataupun ekonomi
neoliberal.
Ekonomi
yang memihak rakyat adalah ketika suatu sistem bersinggungan langsung dengan
kehidupan rakyat sehari-hari, seperti tersedianya lapangan pekerjaan,
penghasilan memadai, serta pendidikan dan kesehatan yang murah. Penerapan
bagaimana sistem ekonomi itu membawa kemakmuran bagi banyak orang, lebih utama
untuk diperhatikan.
Jadi,
lebih penting meyakini bahwa yang harus dikembangkan adalah ekonomi rakyat
bukan ekonomi kerakyatan, bukan juga ekonomi yang memihak atau memberi
keuntungan hanya pada segelintir orang atau kelompok (kapitalis).
Memperluas
wawasan untuk mengembangkan sistem ekonomi yang dapat mensejahterakan rakyat
dapat menghindarkan kita, sebagai rakyat, agar tidak terkecoh oleh janji manis
yang ditawarkan olek konsep ekonomi kerakyatan.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ekonomi
kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi
rakyat.Dimana ekonomi rakyat sendiri adalah sebagai kegiatan ekonomi atau usaha
yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan (popular) yang dengan secara swadaya
mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya,
yang selanjutnya disebut sebagai Usaha Kecil dan Menegah (UKM) terutama
meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dsb., yang ditujukan
terutama untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya tanpa harus
mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya.
Secara
ringkas Konvensi ILO169 tahun 1989 memberi definisi ekonomi kerakyatan adalah
ekonomi tradisional yang menjadi basis kehidupan masyarakat local dalam
mempertahan kehidupannnya. Ekonomi kerakyatan ini dikembangkan berdasarkan
pengetahuan dan keterampilan masyarakat local dalam mengelola lingkungan dan
tanah mereka secara turun temurun. Aktivitas ekonomi kerakyatan ini terkait
dengan ekonomi sub sisten antara lain pertanian tradisional seperti perburuan,
perkebunan, mencari ikan, dan lainnnya kegiatan disekitar lingkungan alamnya
serta kerajinan tangan dan industri rumahan. Kesemua kegiatan ekonomi tersebut
dilakukan dengan pasar tradisional dan berbasis masyarakat, artinya hanya
ditujukan untuk menghidupi dan memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya sendiri.
Kegiatan ekonomi dikembangkan untuk membantu dirinya sendiri dan masyarakatnya,
sehingga tidak mengekploitasi sumber daya alam yang ada.
Gagasan
ekonomi kerakyatan dikembangkan sebagai upaya alternatif dari para ahli ekonomi
Indonesia untuk menjawab kegagalan yang dialami oleh negara negara berkembang
termasuk Indonesia dalam menerapkan teori pertumbuhan. Penerapan teori
pertumbuhan yang telah membawa kesuksesan di negara negara kawasan Eropa ternyata
telah menimbulkan kenyataan lain di sejumlah bangsa yang berbeda. Salah satu
harapan agar hasil dari pertumbuhan tersebut bisa dinikmati sampai pada lapisan
masyarakat paling bawah, ternyata banyak rakyat di lapisan bawah tidak selalu
dapat menikmati cucuran hasil pembangunan yang diharapkan itu. Bahkan di
kebanyakan negara negara yang sedang berkembang, kesenjangan sosial ekonomi
semakin melebar. Dari pengalaman ini, akhirnya dikembangkan berbagai alternatif
terhadap konsep pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi
tetap merupakan pertimbangan prioritas, tetapi pelaksanaannya harus serasi
dengan pembangunan nasional yang berintikan pada manusia pelakunya.
Pembangunan
yang berorientasi kerakyatan dan berbagai kebijaksanaan yang berpihak pada
kepentingan rakyat. Dari pernyataan tersebut jelas sekali bahwa konsep, ekonomi
kerakyatan dikembangkan sebagai upaya untuk lebih mengedepankan masyarakat.
Dengan kata lain konsep ekonomi kerakyatan dilakukan sebagai sebuah strategi
untuk membangun kesejahteraan dengan lebih mengutamakan pemberdayaan
masyarakat. Menurut Guru Besar, FE UGM ( alm ) Prof. Dr. Mubyarto, sistem
Ekonomi kerakyatan adalah system ekonomi yang berasas kekeluargaan,
berkedaulatan rakyat, dan menunjukkan pemihakan sungguh – sungguhpada ekonomi
rakyat Dalam praktiknya, ekonomi kerakyatan dapat dijelaskan juga sebagai
ekonomi jejaring ( network ) yang menghubung – hubungkan
sentra – sentra inovasi, produksi dan kemandirian usaha masyarakat ke dalam suatu jaringan berbasis teknologi informasi, untuk terbentuknya jejaring pasar domestik diantara sentara dan pelaku usaha masyarakat.
sentra – sentra inovasi, produksi dan kemandirian usaha masyarakat ke dalam suatu jaringan berbasis teknologi informasi, untuk terbentuknya jejaring pasar domestik diantara sentara dan pelaku usaha masyarakat.
Sebagai suatu
jejaringan, ekonomi kerakyatan diusahakan untuk siap bersaing dalam era
globalisasi, dengan cara mengadopsi teknologi informasi dan sistem manajemen
yang paling canggih sebagaimana dimiliki oleh lembaga “ lembaga bisnis
internasional, Ekonomi kerakyatan dengan sistem kepemilikan koperasi dan
publik. Ekomomi kerakyatan sebagai antitesa dari paradigma ekonomi konglomerasi
berbasis produksi masal ala Taylorism. Dengan demikian Ekonomi kerakyatan
berbasis ekonomi jaringan harus mengadopsi teknologi tinggi sebagai faktor
pemberi nilai tambah terbesar dari proses ekonomi itu sendiri. Faktor skala
ekonomi dan efisien yang akan menjadi dasar kompetisi bebas menuntut
keterlibatan jaringan ekonomi rakyat, yakni berbagai sentra-sentra kemandirian
ekonomi rakyat, skala besar kemandirian ekonomi rakyat, skala besar dengan pola
pengelolaan yang menganut model siklus terpendek dalam bentuk yang sering
disebut dengan pembeli .
Berkaitan
dengan uraian diatas, agar sistem ekonomi kerakyatan tidak hanya berhenti pada
tingkat wacana, sejumlah agenda konkret ekonomi kerakyatan harus segera
diangkat kepermukaan. Secara garis besar ada lima agenda pokok ekonomi
kerakyatan yang harus segera diperjuangkan. Kelima agenda tersebut merupakan
inti dari poitik ekonomi kerakyatan dan menjadi titik masuk ( entry point) bagi
terselenggarakannya system ekonomi kerakyatan dalam jangka panjang =
Peningkatan disiplin pengeluaran anggaran dengan tujuan utama memerangi praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam segala bentuknya; Penghapusan monopoli melalui penyelenggaraan mekanisme ; persaingan yang berkeadilan ( fair competition) ; Peningkatan alokasi sumber-sumber penerimaan negara kepada pemerintah daerah.; Penguasaan dan redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada petani penggarap ; Pembaharuan UU Koperasi dan pendirian koperasi-koperasi dalam berbagai bidang usaha dan kegiatan.
Peningkatan disiplin pengeluaran anggaran dengan tujuan utama memerangi praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam segala bentuknya; Penghapusan monopoli melalui penyelenggaraan mekanisme ; persaingan yang berkeadilan ( fair competition) ; Peningkatan alokasi sumber-sumber penerimaan negara kepada pemerintah daerah.; Penguasaan dan redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada petani penggarap ; Pembaharuan UU Koperasi dan pendirian koperasi-koperasi dalam berbagai bidang usaha dan kegiatan.
Yang perlu
dicermati peningkatan kesejahteraan rakyat dalam konteks ekonomi kerakyatan
tidak didasarkan pada paradigma lokomatif, melainkan pada paradigma fondasi.
Artinya, peningkatan kesejahteraan tak lagi bertumpu pada
dominasi pemerintah pusat, modal asing dan perusahaan konglomerasi, melainkan pada kekuatan pemerintah daerah, persaingan yang berkeadilan, usaha pertanian rakyat sera peran koperasi sejati, yang diharapkan mampu berperan sebagai fondasi penguatan ekonomi rakyat. Strategi pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat merupakan strategi melaksanakan demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dan dibawah pimpinan dan pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang. Maka kemiskinan tidak dapat ditoleransi sehingga setiap kebijakan dan program pembangunan harus memberi manfaat pada mereka yang paling miskin dan paling kurang sejahtera. Inilah pembangunan generasi mendatang sekaligus memberikan jaminan sosial bagi mereka yang paling miskin dan tertinggal. Yang menjadi masalah, struktur kelembagaan politik dari tingkat Kabupaten sampai ke tingkat komunitas yang ada saat ini adalah lebih merupakan alat control birokrasi terhadap masyarakat. Tidak mungkin ekonomi kerakyatan di wujudkan tanpa restrukturisasi kelembagaan politik di tingkat Distrik. Dengan demikian persoalan pengembangan ekonomi rakyat juga tidak terlepas dari kelembagaan politik di tingkat Distrik. Untuk itu mesti tercipta iklim politik yang kondusif bagi pengembangan ekonomi rakyat. Di tingkat kampung dan Distrik bisadimulai dengan pendemokrasian pratana sosial politik, agar benar-benar yang inklusif dan partisiporis di tingkat Distrik untuk menjadi partner dan penekan birokrasi kampung dan Distrik agar memenuhi kebutuhan pembangunan rakyat.
dominasi pemerintah pusat, modal asing dan perusahaan konglomerasi, melainkan pada kekuatan pemerintah daerah, persaingan yang berkeadilan, usaha pertanian rakyat sera peran koperasi sejati, yang diharapkan mampu berperan sebagai fondasi penguatan ekonomi rakyat. Strategi pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat merupakan strategi melaksanakan demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dan dibawah pimpinan dan pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang. Maka kemiskinan tidak dapat ditoleransi sehingga setiap kebijakan dan program pembangunan harus memberi manfaat pada mereka yang paling miskin dan paling kurang sejahtera. Inilah pembangunan generasi mendatang sekaligus memberikan jaminan sosial bagi mereka yang paling miskin dan tertinggal. Yang menjadi masalah, struktur kelembagaan politik dari tingkat Kabupaten sampai ke tingkat komunitas yang ada saat ini adalah lebih merupakan alat control birokrasi terhadap masyarakat. Tidak mungkin ekonomi kerakyatan di wujudkan tanpa restrukturisasi kelembagaan politik di tingkat Distrik. Dengan demikian persoalan pengembangan ekonomi rakyat juga tidak terlepas dari kelembagaan politik di tingkat Distrik. Untuk itu mesti tercipta iklim politik yang kondusif bagi pengembangan ekonomi rakyat. Di tingkat kampung dan Distrik bisadimulai dengan pendemokrasian pratana sosial politik, agar benar-benar yang inklusif dan partisiporis di tingkat Distrik untuk menjadi partner dan penekan birokrasi kampung dan Distrik agar memenuhi kebutuhan pembangunan rakyat.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Ekonomi Kerakyatan
Definisi
Sistem Ekonomi Kerakyatan
Dalam era reformasi sekarang ini,kita sering mendengar
tentang sistem ekonomi kerakyatan sekarang mari kita membahas tentang apa
sebenarnya sistem ekonomi kerakyatan itu? Sistem Ekonomi Kerakyatan adalah
Sistem Ekonomi Nasional Indonesia yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan
rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada
ekonomi rakyat.
Syarat mutlak berjalannya sistem ekonomi kerakyatan
yang berkeadilan sosial
- berdaulat di bidang politik
- mandiri di bidang ekonomi
- berkepribadian di bidang budaya
Yang mendasari paradigma pembangunan ekonomi
kerakyatan yang berkeadilan sosial
- penyegaran nasionalisme ekonomi melawan segala bentuk ketidakadilan sistem dan kebijakan ekonomi
- pendekatan pembangunan berkelanjutan yang multidisipliner dan multikultural
- pengkajian ulang pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu ekonomi dan sosial di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi
Sekilas tentang Sistem Ekonomi Kerakyatan
Bung Hatta dalam Daulat Rakyat (1931) menulis artikel
berjudul Ekonomi Rakyat dalam Bahaya, sedangkan Bung Karno 3 tahun sebelumnya (Agustus
1930) dalam pembelaan di Landraad Bandung menulis nasib ekonomi rakyat sebagai
berikut:
“Ekonomi Rakyat oleh sistem monopoli disempitkan, sama
sekali didesak dan dipadamkan (Soekarno, Indonesia Menggugat, 1930: 31)”
Jika kita mengacu pada Pancasila dasar negara atau
pada ketentuan pasal 33 UUD 1945, maka memang ada kata kerakyatan tetapi harus
tidak dijadikan sekedar kata sifat yang berarti merakyat. Kata kerakyatan
sebagaimana bunyi sila ke-4 Pancasila harus ditulis lengkap yaitu kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang
artinya tidak lain adalah demokrasi ala Indonesia. Jadi ekonomi kerakyatan
adalah (sistem) ekonomi yang demokratis. Pengertian demokrasi ekonomi atau
(sistem) ekonomi yang demokratis termuat lengkap dalam penjelasan pasal 33 UUD
1945 yang berbunyi:
“Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah
pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah
yang diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang
sesuai dengan itu ialah koperasi.
Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi,
kemakmuran bagi semua orang! Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau
tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa dan rakyat
yang banyak ditindasinya.
Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup
orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang.
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Memang sangat disayangkan bahwa penjelasan tentang
demokrasi ekonomi ini sekarang sudah tidak ada lagi karena seluruh penjelasan
UUD 1945 diputuskan MPR untuk dihilangkan dengan alasan naif, yang sulit kita
terima, yaitu “di negara negara lain tidak ada UUD atau konstitusi yang memakai
penjelasan.
Tujuan yang diharapkan dari penerapan Sistem Ekonomi
Kerakyatan
- Membangun Indonesia yang berdikiari secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkepribadian yang berkebudayaan
- Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan
- Mendorong pemerataan pendapatan rakyat
- Meningkatkan efisiensi perekonomian secara nasional
LIMA HAL POKOK YANG HARUS SEGERA DIPERJUANGKAN AGAR
SISTEM EKONOMI KERAKYATAN TIDAK HANYA MENJADI WACANA SAJA
- Peningkatan disiplin pengeluaran anggaran dengan tujuan utama memerangi praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam segala bentuknya
- Penghapusan monopoli melalui penyelenggaraan mekanisme persaingan yang berkeadilan (fair competition)
- Peningkatan alokasi sumber-sumber penerimaan negara kepada pemerintah daerah
- Penguasaan dan redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada petani penggarap
- Pembaharuan UU Koperasi dan pendirian koperasi-koperasi “ sejati” dalam berbagai bidan usaha dan kegiatan. Yang perlu dicermati, peningkatan kesejahteraan rakyat dalam konteks ekonomi kerakyatan tidak didasarkan pada paradigma lokomatif, melainkan pada paradigma fondasi.
Ruang Ekonomi Kerakyatan Indonesia
Saat mendapat tugas untuk mebahas konsep ekonomi
kerakyatan dalam kaitan dengan makalah Prof. Mubyarto tentang “Ekonomi
Kerakyatan dalam Era Globalisasi dan Otonomi Daerah”, saya mencoba untuk
menangkap (baca: memahami) makna kata ‘rakyat’ secara utuh. Akhirnya saya
sampai pada pemahaman bahwa rakyat sendiri bukanlah sesuatu obyek yang bisa
‘ditangkap’ untuk diamati secara visual, khususnya dalam kaitan dengan
pembangunan ekonomi. Kata rakyat merupakan suatu konsep yang abstrak dan tidak
dapat di’tangkap’ untuk diamati perubahan visual ekonominya. Kata rakyat baru
bermakna secara visual jika yang diamati adalah individualitas dari rakyat (Asy’arie,
2001). Ibarat kata ‘binatang’, kita tidak bisa menangkap binatang untuk
mengatakan gemuk atau kurus, kecuali binatang itu adalah misalnya seekor tikus.
Persoalannya ada begitu banyak obyek yang masuk dalam barisan binatang (tikus,
kucing, ular, dll.), sehingga kita harus jelas mengatakan binatang yang mana
yang bentuk visualnya gemuk atau kurus. Pertanyaan yang sama harus dikenakan
pada konsep ekonomi rakyat, yaitu ekonomi rakyat yang mana, siapa, di mana dan
berapa jumlahnya. Karena dalam dimensi ruang Indonesia semua orang (Indonesia)
berhak untuk menyandang predikat ‘rakyat’. Buruh tani, konglomerat, koruptor
pun berhak menyandang predikat ‘rakyat’. Sama seperti jika seekor kucing
digabungkan dengan 100 ekor tikus dalam satu ruang, maka semuanya disebut
binatang. Walaupun dalam perjalanannya seekor kucing dapat saja menelan 100
ekor tikus atas nama binatang.
Ilustrasi di atas saya sampaikan untuk membuka ruang
diskusi tetang ekonomi kerakyatan dalam perspektif yang terarah dalam kerangka
mengagas pikiran Prof. Mubyarto. Kita harus jelas mengatakan rakyat yang mana
yang seharusnya kita tempatkan dalam ruang ekonomi kerakyatan Indonesia.
Selanjutnya, bagaimana kita memperlakukan rakyat dimaksud dan apakah perlakuan
terhadapnya selama ini sudah benar. Atau apakah upaya menggiring rakyat ke
dalam ruang ekonomi kerakyatan selama ini sudah berada dalam koridor yang
benar.
Dalam konteks ilmu sosial, kata rakyat terdiri dari
satuan individu pada umumnya atau jenis manusia kebanyakan. Kalau diterjemahkan
dalam konteks ilmu ekonomi, maka rakyat adalah kumpulan kebanyakan individu
dengan ragaan ekonomi yang relatif sama. Dainy Tara (2001) membuat perbedaan
yang tegas antara ‘ekonomi rakyat’ dengan ‘ekonomi kerakyatan’. Menurutnya,
ekonomi rakyat adalah satuan (usaha) yang mendominasi ragaan perekonomian
rakyat. Sedangkan ekonomi kerakyatan lebih merupakan kata sifat, yakni upaya
memberdayakan (kelompok atau satuan) ekonomi yang mendominasi struktur dunia
usaha. Dalam ruang Indonesia, maka kata rakyat dalam konteks ilmu ekonomi
selayaknya diterjemahkan sebagai kesatuan besar individu aktor ekonomi dengan
jenis kegiatan usaha berskala kecil dalam permodalannya, sarana teknologi
produksi yang sederhana, menejemen usaha yang belum bersistem, dan bentuk
kepemilikan usaha secara pribadi. Karena kelompok usaha dengan karakteristik
seperti inilah yang mendominasi struktur dunia usaha di Indonesia.
Ekonomi
Kerakyatan
Di Tengah Arus Kapitalisme Global
Dalam berbagai event politik, Ekonomi Kerakyatan (seperti koperasi dan UKM)
sering dibicarakan, diprogramkan dan setelah event itu usai tidak diurus lagi.
Sehingga yang sebenarnya terjadi adalah menjadikan issue Ekonomi Kerakyatan
sekedar sebagai ”dagangan politik” untuk menarik simpati. Secara umum, nasib
Ekonomi Kerakyatan, khususnya Koperasi-UKM memang hanya menarik untuk dijadikan
komoditi politik ketimbang secara serius diperjuangkan sebagai kebutuhan
rakyat. Bagi (sebagian besar) politisi, perjuangan untuk menerapkan ekonomi
kerakyatan secara riil di arena politik merupakan mimpi di siang bolong, karena
kehidupan politik yang disemangati nilai-nilai kapitalisme saat ini justru
dianggap sebagai peluang yang lebih menungutungkan ketimbang berjuang
memberlakukan ekonomi kerakyatan.
Sikap pesimis, ragu dan oportunis
para politisi dan penyelenggara negara terhadap Ekonomi Kerakyatan akhirnya
melahirkan ambivalensi dalam memproduksi kebijakan. Pertama, secara
substansial dan obyektif, mereka menerima kapitalisme sebagai sistem ekonomi
yang harus diberlakukan di negeri ini. Alasan ”sesuai perkembangan jaman”
merupakan pertimbangan yang seringkali dirasionalisasi untuk melegitimasi
aturan main yang seolah-olah merupakan penjabaran dari Konstitusi Dasar
Republik ini. Kedua, melakukan formalisasi Ekonomi Kerakyatan secara
institusional, dan bukan pemberlakuan sistem ekonomi nasional secara
substansial. Institusionalisasi tersebut berbentuk lembaga-lembaga Koperasi dan
UKM yang fungsi dan perannya sengaja dimarginalkan dalam kebijakan-kebijakan
ekonomi politik. Keberadaan Departemen Koperasi dan UKM, dalam konteks ini,
adalah salah satu bentuk formalisasi dimaksud, sekedar supaya Pemerintah
dianggap menjalankan soko guru ekonomi nasional.
Tulisan ini tidak membahas Koperasi
secara khusus, melainkan akan membahas tata Ekonomi Kerakyatan dalam perspektif
politik nasional yang telah dirasuki semangat kapitalistik seperti disebut di
atas. Oleh karena itu, secara berurutan nanti akan dibahas apa itu
Neo-liberalisme atau Kapitalisme Global baru kemudian Ekonomi Kerakyatan dan
terakhir akan disinggung sedikit sejauh mana relevansi keberadaan Koperasi
(sebagai bagian dari ekonomi kerakyatan) di era Globalisasi ini.
NEO LIBERALISME
Sebelum kita uraikan beberapa persoalan riil yang terkait dengan Ekonomi
Kerakyatan, terlebih dahulu kita kupas apa itu ideologi Neoliberal, bagaimana
perkembangannya serta apa dampak penerapannya. Neoliberalisme merupakan tahap
lanjutan dari liberalisme yang berkembang sekitar abad 18 sampai 19 di Barat.
Liberalisme asal mulanya adalah bentuk perjuangan kaum borjuis dalam menghadapi
kaum konservatif atau feodal. Sehingga boleh disebut, liberalisme merupakan
ideologi kaum borjuis kota. Dalam arti luas, liberalisme adalah paham
yang mempertahankan otonomi individu melawan intervensi komunitas. Memang,
dalam konteks definisi ada “civic liberalism” maupun liberalisme ekonomi. Dan,
liberalisme ekonomi inilah yang nantinya berkembang menjadi neoliberalisme.
Pada intinya, paham ini memperjuangkan leissez faire
(persaingan bebas), yakni paham yang memperjuangkan hak-hak atas pemilikan dan
kebebasan individual. Mereka lebih percaya pada kekuatan pasar untuk
menyelesaikan masalah-masalah sosial ketimbang melalui regulasi negara. Kata neo
dalam neoliberalisme yang kita bahas ini merujuk pada bangkitnya
kembali bentuk baru aliran ekonomi liberalisme lama yang dulu dibangkitkan
ekonom Inggris Adam Smith dalam karyanya “The Wealth of Nations”
(1776), di mana dia dan kawan-kawannya menggagas penghapusan intervensi
pemerintah dalam ekonomi.
Dalam liberalisme, Pemerintah harus membebaskan mekanisme pasar bekerja,
harus melakukan deregulasi dengan mengurangi restriksi (hambatan) pada proses
produksi, mencabut semua rintangan birokratis perdagangan, ataupun
menghilangkan tarif bagi perdagangan demi menjamin terwujudnya free trade.
Perdagangan dan persaingan bebas adalah cara terbaik bagi ekonomi nasional
untuk berkembang. Dengan demikian, liberalisme di sini berkonotasi “bebas dari
kontrol pemerintah”, atau kebebasan inidividu untuk menjalankan persaingan
bebas, termasuk kebebasan bagi kaum kapitalis untuk mencari keuntungan
sebesar-besarnya. Ekonomi model liberalisme inilah yang menjadi dasar bagi
ekonomi Amerika pada tahun 1800-an sampai awal 1900-an. Tapi, konsep tersebut
akhirnya runtuh saat bencana depresi (The Great Depression) di
tahun 1930-an melanda dunia.
Ketika depresi ekonomi melanda dunia, muncul seorang ekonom Inggris yang
bernama John Maynard Keynes, yang menantang paham liberal. Keynes
mengembangkan gagasan alternatif bahwa pemerintah dapat dan harus melakukan
intervensi dalam perekonomian, dan membangun sebuah model yang sama sekali
baru. Ekonomi Keynessian yang sering disamakan dengan Welfare State
(Negara Kesejahteraan, yaitu pemilikan negara atas sebagian besar industri dan
pemerintahan yang intervensionis) itu mempengaruhi Presiden Roosvelt
untuk melahirkan kebijakan yang dikenal dengan program “New Deal”,
karena dianggap berhasil menyelamatkan rakyat Amerika waktu itu. Sejak itu pula
peran pemerintah atau negara dalam ekonomi makin dapat diterima, makin menguat
dan menenggelamkan paham liberalisme. Kebanyakan negara berkembang juga
menganut strategi pembangunan yang didominasi oleh negara (welfare state).
Namun, krisis kapitalisme di akhir 1970-an menyebabkan semakin berkurangnya
tingkat keuntungan kaum kapitalis yang berakibat pada jatuhnya akumulasi
kapital mereka, sehingga meneguhkan mereka untuk kembali pada sistem
liberalisme. Doktrin ekonomi Keynessian dianggap sebagai penyebab
kehancuran kapitalisme waktu itu. Dimotori oleh ekonom Milton Friedman
dan Friederich Hayek, mereka meyakini bahwa pasar bebas mampu memajukan
ekonomi dibandingkan negara dan usaha negara dalam mengatasi kegagalan ekonomi
lebih mendatangkan kerugian daripada keuntungan. Mereka ingin negara kembali
pada fungsi dasarnya dengan cara melakukan deregulasi, privatisasi atau mengkontrakkan
sejumlah fungsi negara kepada swasta.
Melaui corporate globalization mereka merebut kembali ekonomi dan
berhasil mengembalikan paham liberalisme, bahkan dalam skala global. Paham
liberalisme lama itu kini dihidupkan kembali secara global, yang dikembangkan
melalui sebuah “konsensus” yang dipaksakan. Konsensu 1980-an yang dikenal
dengan The Washington Consensus itu, datang dari para pembela
ekonomi pasar bebas yang berasal dari wakil perusahaan-perusahaan besar
Transnasional Corporations (TNC’s) atau Multi Nasional Corporations (MNC’s),
Bank Dunia, IMF serta wakil negera-negara kaya. Mereka menyebut kesepakatan itu
sebagai “reformasi” ekonomi dengan kebijakan pasar bebas di era global. Intinya
adalah negara harus melayani dan memberi kebebasan swasta untuk memperoleh
superprofit (bukan sekedar profit).
“Rukun Iman” Neoliberalisme
Hasil-hasil “Kesepakatan Washington” yang berisi berbagai kebijakan yang
harus diterima oleh dunia itulah yang kini dikenal dengan neoliberalisme. Ada
beberapa ajaran yang harus diyakini kebenarannya dan harus diamalkan oleh
seluruh warga dunia. Karena ada kecenderungan neoliberalisme dijadikan sebagai
“agama” baru, maka saya menyebutnya sebagai “Rukun Iman” Neoliberalisme.
1. Disiplin fiskal (fiscal discipline). Pemerintah disarankan
untuk melakukan kebijakan
fiskal yang konservatif, di mana defisit anggaran tidak boleh lebih daripada dua persen terhadap Produk Domestik Buruto (PDB).
(Contoh di Indonesia,
akibat kebijakan fiskal ketat di tahun 1997 ini menyebabkan harga BBM naik,
membuat rakyat marah dan kerusuhan terjadi di mana-mana. Contoh di Argentina,
kebijakan ini membuat runtuhnya daya beli rakyat, tingginya pengangguran,
rendahnya investasi, capital flight besar-besaran dan kegagalan membayar
utang luar negeri yang menumpuk)
2. Public expenditure, yaitu perlu
adanya prioritas bagi pengeluaran publik dalam anggran pemerintah. Pemerintah
harus berupaya memperbaiki distribusi pendapatan melalui belanja pemerintah. Penerapannya
dilakukan dengan pencabutan subsidi negara untuk rakyat. Untuk
mengurangi pemborosan, pemerintah harus memangkas semua anggaran negara yang
tidak produktif, yaitu subsidi untuk pelayanan sosial seperti anggaran
pendidikan, kesehatan, transportai rakyat, dan jaminan sosial lainnya. Hal ini
untuk mengurangi peran negara dalam rangka efisiensi. Tetapi, pencabutan
subsidi ini ternyata hanya berlaku untuk negera-negara berkembang.
Negara-negara maju justru memberikan subsidi dan proteksi pada petani maupun korporasi-korporasi
di negaranya.
3. Tax reform (reformasi
pajak). Pemerintah perlu memperluas basis pemungutan pajak (broden the
base). Pajak merupakan komponen penting anggaran pemerintah, dan pemerintah
perlu lebih kreatif dalam pemungutannya, dengan cara memperluas basisnya. Penerapan
reformasi pajak ini untuk memperlancar arus investasi dan memanjakan investor,
negara diminta mengadakan pembaharuan perpajakan, yang sebenarnya tidak lain
berupa pemberian kelonggaran bagi para pengusaha untuk kemudahan pembayaran
pajak seperti tax holiday.
4. Financial Liberalization (Liberalisasi finansisal). Sektor
finansial perlu didorong
menjadi liberal dan kian ketat bersaing, agar terjadi peningkatan efisiensi.
5. Mendorong kompetisi
antara perusahaan domestik dengan perusahaan asing, sehingga meningkatkan
efisiensi. Termasuk dalam kepercayaan ini adalah pentingnya menekan upah buruh
dengan melakukan politik pecah belah persatuan buruh serta melenyapkan
hak-hak buruh yang selama ini menjadi media perjuangan buruh untuk menyampaikan
hak-hak mereka.
6. Exchange
rate policy (kebijakan nilai tukar) yang memiliki kredibilitas, yang
menjamin terdorongnya iklim persaingan. Penerapannya adalah pemerintah tidak
boleh intervensi terhadap mekanisme pasar uang, sebab intervensi tersebut akan
mengurangi efisiensi dan menurunkan kredibilitas ekonomi suatu negara di mata
internasional. Sehinga, betetapun anjloknya nilai tukar mata uang suatu negara,
pemerintah tetap tidak pantas untuk campur tangan. Biarkan pasar bekerja secara
bebas.
7. Terus mendorong Liberalisasi perdagangan, dengan cara menghilangkan
restriksi-restriksi kualitatif (larangan-larangan) secara progressif. Biarkan
pasar bekerja. Dalam hal ini termasuk membebaskan perusahaan swasta dari
regulasi pemerintah atau negara, apa pun akibat sosialnya. Penerapannya berupa
pemberian ruang bebas dan terbuka terhadap perdagangan internasional dan
investasi seperti AFTA, NAFTA, maupun dalam bentuk kawasan yang lebih kecil yang
merupakan area bebas dari birokrasi negara.
Masuk dalam “iman” ini adalah melenyapkan kontrol atas harga, biarkan pasar
bekerja tanpa “distorsi”. Berikan kebebasan total arus kapital, barang dan jasa.
Semua itu dirumuskan dalam satu kredo : unregulated market is the way to
increase economic growth. Keyakinan bahwa hanya melalui pasar bebas
pertumbuhan bisa dicapai ini sejalan dengan ajaran trickle down effect
dalam ekonomi sebagai jalan pemerataan.
8. Program Privatisasi.
Perusahaan-perusahaan milik negara atau BUMN seyogyanya dijual kepada swasta
(baik domestik maupun asing). Privatisasi meliputi perbankan, industri
strategis, perkeretaapian dan transportasi umum, PLN, Sekolah dan Universitas,
Rumah Sakit Umum, bahkan air. Privatisasi itu, meski dilakukan dengan alasan
“persaingan bebas” yang dibungkus rapi demi effisiensi dan mengurangi korupsi,
namun kenyataannya berakibat pada konsentrasi kapital di tangan sedikit orang
dan memaksa rakyat kecil membayar lebih mahal atas kebutuhan dasar mereka. Orang
bisa menerima privatisasi, biasanya, karena BUMN tersebut tidak sehat atau
tidak efisien karena dijangkiti penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme.
Sedang yang menolak, biasanya, menggunakan alasan nasionalisme. Sebenarnya tidak
ada jaminan bahwa setelah diprivatisasi kemudian bersih dari KKN. Bahkan,
ketika dalam prosesnya pun, disinyalir telah terjadi korupsi. Alasan nasionalisme
(yang menolak), juga kurang tepat, bahkan alasan ini seringkali mendatangkan
cibiran dari kaum neoliberal. Tujuan BUMN sendiri adalah untuk kepentingan umum
masyarakat di suatu negara. Privatisasi BUMN, atau lebih tepatnya kapitalisasi
BUMN yang disemangati oleh nilai-nilai kapitalisme, in cluded (di
dalamnya) bertentangan dengan prinsip-prinsip untuk kepentingan umum, karena
tujuan utamanya adalah keuntungan sebesar-besarnya bagi pemilik modal.
9. Iklim deregulasi ekonomi harus didorong. Hambatan-hambatan atau
restriksi-restriksi untuk masuk pasar harus dihilangkan, supaya pasar menjadi
kian kompetitif. Penerapannya dilakukan dengan mengurangi segala bentuk
regulasi negara terhadap kebebasan ekonomi, karena regulasi selalu mengurangi
keuntungan kapitalis, termasuk regulasi mengenai analisa dampak lingkungan,
ataupun aturan keselamatan kerja dan sebagainya. Dalam rangka itu pula, setiap
kebijakan pemerintah yang menghambat pemasukan modal asing harus disingkirkan.
10. Intellectual property rights (IPR), atau yang sering disebut Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI),
yaitu perlindungan hukum terhadap barang produk yang dipasarkan. Intinya
adalah bagaimana ide tentang HAKI diciptakan sebagai bagian dari perluasan
kepentingan Amerika untuk terus menguasai perdagangan dunia (Indonesia termasuk
sebagai target di dalamnya, karena disinyalir memiliki volume pembajakan yang
sangat besar) dan menjadikan konsep HAKI ini bagian dari kekuatan penekan bagi
hubungan dagangnya dengan berbagai negara berkembang.
Dari sepuluh elemen itu, secara
ringkas dapat disederhanakan menjadi lima pilar yang menjadi mantra mujarab
globalisasi, yaitu (1) pasar bebas, (2) perdagangan bebas, (3) pajak
yang rendah, (4) privatisasi, (5) deregulasi. Kebijakan
neoliberal yang intinya terdiri dari 5 pilar tersebut, diterapkan melalui paksaan
oleh lembaga finansial internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Indonesia
adalah korban yang ke sekian kalinya dalam penerapan kebijakan neoliberal itu.
Kebijakan ekonomi Indonesia selama dan setelah krisis seperti pemotongan
subsidi BBM, privatisasi bank negara, privatisasi universitas dan pendidikan,
privatisasi PLN, privatisasi RSU, privatisasi pertambangan dan perkebunan
negara yang dulu hasil dari nasionalisasi di awal kemerdekaan, adalah
bentuk nyata kebijakan neoliberal itu. Termasuk juga divestasi terhadap
perusahaan-perusahaan negara dan bank pemerintah, liberalisasi perdagangan dan
perpajakan yang diterapkan selama krisis hingga kini. Karenanya, banyak orang
menilai neoliberalisme berarti rekolonisasi.
Benarkah Negara
Dipinggirkan ?
Sebagai catatan singkat, yang perlu sedikit diulas adalah munculnya
semangat ‘anti negara’ dari para pemeluk “agama” neoliberal itu. Semangat ini
menemukan momentumnya di Indonesia karena pada saat yang sama juga sedang
terjadi semangat ‘anti negara’ di tengah rakyat di akhir kekuasaan Orde Baru.
Meski motivasinya berbeda, namun persamaan semangat itu menyebabkan sebagian
besar masyarakat kita kurang menyadari bahwa dirinya sedang keluar dari mulut
harimau masuk ke mulut buaya. Lepas dari pemerintahan fasis terperangkap ke
dalam rezim kapitalisme global. Semuanya berlangsung pada saat krisis sedang
mendera bangsa kita.
Kekejaman politik Soeharto serta
penerapan ekonomi konglomerasi yang menumbuh suburkan konglomerat, di satu sisi
merupakan penindasan yang luar biasa pada rakyat, yang melahirkan kesenjangan
dan kemiskinan massal. Pada saat yang sama, distorsi ekonomi itu merupakan
pintu masuk bagi neoliberalisme yang membawa ‘hidden agenda’, yaitu hendak
meminggirkan peran negara dalam ekonomi. Agenda reformasi ekonomi yang
diinginkan rakyat sebagaimana dicita-citakan sejak kemerdekaan, diisi dengan
agenda ‘reformasi ekonomi’ sesuai yang digariskan neoliberalisme, yaitu
: pasar bebas, perdagangan bebas, pajak yang rendah, privatisasi dan
deregulasi. Sudah jamak dipahami, bahwa pemberlakuan neoliberalisme di suatu
negara akan meminggirkan peran negara dalam ekonomi. Tapi, benarkah demikian ?
Logika sederhana
mengatakan, bagaimana mungkin negara menjadi lemah dan terpinggirkan dalam
ekonomi, kalau liberalisasi, deregulasi dan privatisasi itu merupakan produk
kebijakan negara ? Bagaimana
mungkin Negara melemah jika lembaga ini semakin besar tanggung-jawabnya untuk
menjamin perputaran modal ? Negara kapitalis maju bertugas menjamin keamanan
perputaran modal di negeri berkembang, sedangkan Negara berkembang bertugas
menjamin agar modal dari kapitalis global tidak terganggu oleh
"instabilitas politik" dalam negeri. Karena itu, yang terjadi dalam
globalisasi hanyalah pergantian pemain dan pengurangan kewajiban pengusaha. Kalau
tadinya satu jenis usaha dilakukan dengan monopoli oleh lembaga pemerintah atau
agen yang ditunjuk oleh pemerintah (sesuai konsep Negara Kesejahteraan yang Keynesian)
kini hak usaha itu dijual pada swasta (domestik maupun asing). Monopolinya
sendiri tidak hapus. Dengan demikian, monopoli pemerintah hanya digantikan oleh
monopoli swasta. Dan biasanya, yang sanggup membeli hak monopoli seperti ini
adalah pemodal asing. Juga soal kewajiban, kalau dulu pengusaha harus bayar
banyak pajak, dengan "deregulasi" mereka dibebaskan dari banyak pajak
itu.
Oleh karena itu, yang terjadi dalam
globalisasi bukan peminggiran peran negara dalam ekonomi, melainkan perubahan
fungsi negara : dari fungsi pelayan dan pelindung rakyat berubah menjadi
pelayan dan pelindung pemilik modal, terutama pemilik modal tingkat global
(karena kapitalis domestik makin terkooptasi oleh kapitalis global).
EKONOMI
KERAKYATAN
Jika demokrasi politik berlangsung di tengah kesenjangan ekonomi yang tajam
antara yang kaya dengan yang miskin, maka (sebagaimana teori determinisme
ekonomi) yang kaya-lah yang menguasai demokrasi itu. Selanjutnya, demokrasi
hanya dijadikan alat bagi kelas kaya untuk mempertahankan posisinya. Kelas
miskin hanya dijadikan obyek dalam proses politik, dan seringkali menjadi obyek
penindasan bagi kelas kaya. Untuk membongkar dan menghentikan penindasan kelas
kaya terhadap kelas miskin, pra syarat yang harus dipenuhi adalah terciptanya
demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan.
Antara ekonomi kerakyatan dengan ekonomi rakyat
sering disalahpahami banyak orang, atau setidaknya mereka rancu memahami dan
membedakan di antara keduanya. Ekonomi Kerakyatan (Demokrasi Ekonomi)
adalah suatu sistem ekonomi yang menjamin keterlibatan rakyat sebagai subyek
yang mengendalikan jalannya roda ekonomi negara, atau suatu sistem perekonomian
yang menjamin dilakukannya “produksi oleh semua, untuk semua, di bawah
pimpinan atau kepemilikian rakyat”. Disebut juga demokrasi ekonomi, karena
sistem ini mengacu pada Pasal 33 UUD 1945.
Rasanya tidak lengkap jika membahas Ekonomi Kerakyatan
tanpa membuka UUD 1945 Bab XIV tentang “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan
Sosial” yang berisi Pasal 33 dan 34. Menurut Jimly Asshiddiqie, Bab XIV ini
menggambarkan diterimanya pengaruh paham sosialisme dalam rumusan
cita-cita kenegaraan kita, di samping prinsip demokrasi liberal. Hal ini
berkaitan dengan diadopsinya konsep “welfare state” dalam UUD.
Jika negara kapitalis menganggap kemiskinan dan perekonomian merupakan urusan
pasar dan karena itu tidak perlu diurus negara (pemerintah), maka dalam konsep “welfare
state” negara diharuskan bertang-gungjawab untuk mengintervensi pasar,
mengurus kemiskinan, dan memelihara orang miskin. Bandingkan dengan Konstitusi
negera-negara liberal seperti Amerika, yang tidak mengatur ekonomi rakyat dalam
Konstitusi, mengingat hal itu merupakan mekanisme pasar yang tidak perlu diurus
negara, dan karena itu tidak perlu dicantumkan dalam konstitusi.
Dalam proses perubahan UUD di MPR beberapa waktu lalu,
usul pencoretan “asas kekeluargaan” dari Pasal 33 Ayat (1) sempat
menimbulkan kontroversi di antara para ahli. Satu pihak ingin menghapuskan
perkataan “asas” itu karena dianggap menjadi salah satu sebab tumbuh
suburnya praktek-praktek penyimpangan sejak kemerdekaan dan apalagi di era Orde
Baru. “Asas” tersebut terlalu abstrak maknanya sehingga perwujudannya
dalam praktek mengundang penafsiran yang memberi pembenaran pada praktek KKN.
Karenanya, “asas” itu sering diplesetkan dengan “family system”
atau asas keluarga. Lagi pula, dalam perekonomian, asas itu sebenarnya
dapat lebih tepat dikaitkan dengan prinsip-prinsip seperti efisiensi,
pemerataan dan sebagainya yang pengertiannya lebih jelas dan tidak
kontroversial.
Namun, kelompok lain berpendapat, idealitas konsep jangan
dikacaukan dengan realitas penyimpangan dalam praktek. Banyak faktor yang
menyebabkan tumbuh suburnya KKN, sehingga tidak ‘fair’ untuk menjadikan
‘asas kekeluargaan’ sebagai kambing hitam. Padahal, dalam kenyataannya,
asas kekeluargaan itu selama ini belum cukup didalami makna yang sebenarnya,
serta belum pernah diimplementasikan dalam praktek. Lagi pula, salah satu nilai
yang paling hakiki yang terkandung dalam asas kekeluargaan adalah nilai demokrasi
ekonomi yang jelas-jelas mencerminkan kreasi intelektual para ‘the
founding fathers’ berkenaan dengan gagasan kedaulatan rakyat.
Penghapusan ‘asas kekeluargaan’ berimplikasi pada penghapusan kedaulatan rakyat dalam
bidang ekonomi. Akibatnya perkembangan demokrasi Indonesia hanya akan terarah
pada pengertian demokrasi politik yang didasarkan pada paham liberalisme dengan
segala kelemahan, kekurangan dan distorsi di dalamnya. Padahal, ‘the
founding fathers’ sejak sebelum kemerdekaan sangat mengidealkan upaya
kreatif untuk mengadopsi contoh-contoh yang dapat ditarik dari paham demokrasi
politik yang liberal di satu pihak, tetapi di pihak lain juga menutupi
kelemahannya dengan mengadopsi pelajaran yang dapat ditarik dari paham demokrasi
ekonomi yang didasarkan atas paham sosialisme.
Untuk mencari jalan tengah dalam kontroversi itu,
akhirnya disepakati bahwa Pasal 33 tersebut ditambah dua ayat baru yang
berbunyi (Ayat 4) “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan
dan kesatuan ekonomi nasional”.
Dengan
demikian menjadi jelas, bahwa Ekonomi Kerakyatan lebih merujuk pada
sistem perekonomian yang secara konstitusional (seharusnya) berlaku di
Indonesia. Sedang Ekonomi Rakyat adalah sektor-sektor ekonomi yang
dihuni oleh pelaku ekonomi yang berukuran kecil, yang keadaannya serba
terbelakang. Sektor-sektor itu di antaranya UKM, KUK, KUD, sektor pertanian
rakyat, sektor perikanan rakyat, sektor transportasi rakyat, sub-sektor industri
kecil dan rumah tangga, termasuk perkreditan rakyat. Ekonomi rakyat juga sering
disebut sektor informal, karena keterbelakangannya dan dalam volume
produksi yang sangat kecil serta tidak dilengkapi dengan ijin usaha secara
formal.
Dalam penerapannya, Ekonomi
Kerakyatan mensyaratkan adanya demokratisasi kepemilikan modal oleh
rakyat secara merata tanpa kecuali. Demokratisasi modal itu meliputi
modal material, modal intelektual dan modal institusional.
Modal material tersebut di antaranya meliputi land reform pada
sektor pertanian, kepemilikan saham oleh karyawan di sektor dunia usaha. Dalam
hal kepemilikan modal material, negara tidak hanya wajib mengakui dan
melindungi hak kepemilikan rakyat, tetapi negara juga wajib memastikan bahwa
semua anggota masyarakat turut memiliki modal material.
Modal intelektual meliputi
pemberlakuan program wajib belajar kepada seluruh rakyat, tanpa kecuali.
Konsekuensi program ini berarti negara wajib menyelenggarakan pendidikan tanpa
biaya atau pendidikan gratis bagi seluruh rakyatnya. Artinya, dalam rangka
ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, pendidikan bukan merupakan suatu
kegiatan yang dikomersialkan.
Modal institusional berarti
rakyat memiliki serikat-serikat rakyat yang menjamin adanya kebebasan untuk
menyatakan pendapat. Karena itu, dalam ekonomi kerakyatan ini, negara wajib
menjamin eksistensi dan fungsionalisasi serikat buruh, serikat petani, serikat
nelayan, serikat pedagang kaki lima, serikat pedagang asongan, serikat kaum
miskin kota, dan serikat-serikat rakyat yang lain.
Untuk mendukungnya, minimal
diperlukan tiga agenda yang merupakan pra sayarat bagi pelaksanan
ekonomi kerakyatan, seperti agenda di sektor fiskal, yaitu adanya
pembagian pendapatan (revenue sharing) antara pemerintah pusat dengan
daerah, di sektor perbankkan, yaitu adanya penyelenggaraan sistem
perbankkan regional, sebagai pengganti sistem perbankkan yang tersentral.
Terakhir sektor hulang luar negeri, yaitu perlu adanya penyelenggaraan
referendum terhadap setiap proyek pembangunan yang hendak dibiayai dengan
hutang luar negeri.
Secara sederhana, Ekonomi Kerakyatan
setidaknya memiliki 5 sasaran penting yang meliputi (a)
tersedianya peluang kerja dan penghidupan yang layak bagi seluruh anggota
masyrakat, (b) tersedianya sistem jaminan social bagi rakyat yang
benar-benar membutuhkan, (c) terlindungi dan terdistribusikannya
kepemilikan modal material secara relatif merata di antara anggota masyarakat, (d)
terselenggarakannya pendidikan bebas biaya bagi setiap anggota masyarakat yang
memerlukan, (e) terjaminnya hak setiap anggota masyrakat untuk
mendirikan serikat-serikat rakyat.
Uraian di atas bisa disederhanakan bahwa inti sistem
ekonomi kerakyatan adalah : (a) adanya asas kekeluargaan, yang secara
essensial berarti memprioritaskan pemerataan, (b) penguasaan oleh negara
atas sumber-sumber kekayaan alam yang menjadi kepentingan hajat hidup
masyarakat, (c) semua kekayaan alam tersebut dialokasikan untuk rakyat.
Sistem ekonomi kerakyatan (dalam amandemen ke empat) dijalankan melalui : (a)
asas demokrasi ekonomi, (b) menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional.
Dalam konteks sekarang, ada beberapa ciri utama ekonomi
kerakyatan yang harus diaktualisasikan, yaitu :
(a)
Tidak boleh ada privatisasi
terhadap BUMN. Untuk BUMN-BUMN yang sudah diprivatisasi (baik oleh swasta
domestik, swasta asing maupun BUMN asing), maka harus segera dinasionalisasi.
Alasan nasionalisasi ini lebih didasarkan pada aspek utilities
BUMN sebagai asset negara yang keberadaannya untuk kepentingan umum (kepentingan
hajat hidup orang banyak). Dalam sistem kapitalisme, in clude (di
dalamnya) tidak ada kepentingan umum, karena tujuan utamanya adalah keuntungan
yang sebesar-besarnya bagi pemilik modal. Karena itu, nasionalisasi ini
sebatas pada mengembalikan hak milik rakyat yang telah dipindah-tangankan ke
pihak lain (baik pihak swasta domestik, swasta/BUMN asing).
(b) Pemberian subsidi untuk pelayanan sosial seperti
pendidikan, kesehatan, transportasi rakyat, petani miskin, kaum miskin kota
serta jaminan sosial lainnya. Kalaupun sekarang ini ada kebijakan pencabutan
subsidi untuk rakyat, maka kebijakan itu harus dibatalkan.
(c) Negara memberlakukan regulasi ekonomi, untuk
menghindari persaingan yang tidak seimbang antara yang kuat dengan yang lemah.
Regulasi ini termasuk regulasi dalam di bidang perdagangan maupun keuangan.
(d) Dalam era perdagangan bebas, Negara wajib memberikan proteksi
atau perlindungan terhadap usaha kecil, agar tidak dikalahkan oleh Multi
National Corporations (MNC’s) atau Trans National Corporations (TNC’s).
(e) Pelayanan sosial untuk kehidupan orang fakir, orang
miskin dan anak-anak terlantar harus diprioritaskan. Termasuk di sini adalah
pelaksanaan zakat yang pengelolaannya (pengambilan maupun distribusinya)
diintegrasikan dalam APBN.
Tujuan ekonomi kerakyatan adalah
menciptakan kondisi ekonomi dan politik yang demokratis, dalam arti yang
sebenarnya. Oleh karena itu, kalau dicermati, baik konsep maupun rencana aksi
ekonomi kerakyatan ini memang bertolak belakang dengan mainstream
ekonomi neoliberal yang sedang berlaku. Sehingga tidak sedikit orang yang
menentang, mencibir dan meragukannya.
Orang yang menentang datang dari kalangan yang
merasa dirugikan oleh ekonomi kerakyatan, yaitu para pengusaha atau pemiliki
modal (kapitalis) yang menjadi pelaku ekonomi neoliberal. Kalangan ini
menganggap bahwa ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi adalah sistem
ekonomi sosialis. Sedang mereka yang mencibir biasanya datang dari
kalangan akademisi, ilmuwan atau ekonom yang larut dalam mainstream
ekonomi neoliberal atau kapitalisme global. Mereka berargumen bahwa ekonomi
kerakyatan hanya jargon politik belaka, karena tidak ada dalam teori-teori (teksbook)
yang mereka pelajari. Yang terakhir adalah mereka yang meragukannya.
Meski menaruh simpatik terhadap gagasan ekonomi kerakyatan, tapi mereka menilai
tidak realistis di tengah kuatnya arus kapitalisme global.
Sebagai sebuah sistem, ekonomi kerakyatan
tidak cukup hanya didiskusikan atau dipidatokan dalam pertemuan-pertemuan
akbar. Ekonomi kerakyatan pada hakekatnya adalah gerakan perlawanan, yaitu
perlawanan dari kelompok masyarakat yang terpinggirkan dalam sistem ekonomi
neoliberal (kaum mustadh’afin atau kaum tertindas), terhadap
negara dan pemodal besar yang meminggirkan mereka. Secara lebih spesifik,
gerakan perlawanan ekonomi kerakyatan menghadapi tiga kelompok mapan, yaitu
(a) “Kapitalisme busuk”/perkoncoan yang merupakan sisa-sisa
Orde Baru,
(b) Kapitalisme Global, yaitu kapitalisme yang menerapkan
prinsip-prinsip neoliberalisme (MNC’s, TNC’s, World Bank, IMF, WTO maupun
lembaga-lembaga internasional lain yang menjadi agennya),
pihak-pihak
yang mendukung kedua kelompok di atas, yaitu kaum pemodal domestik, pejabat,
birokrat, politisi dan para ilmuwan/ekonom yang melayani kepentingan kapitalis
global di tanah air.
(c) pihak-pihak
yang mendukung kedua kelompok di atas, yaitu kaum pemodal domestik, pejabat,
birokrat, politisi dan para ilmuwan/ekonom yang melayani kepentingan kapitalis
global di tanah air.
BAB 3
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Di tengah dominasi sistem ekonomi neoliberal (kapitalisme
global), terminologi keadilan, pemerataan, kesejahteraan dan sejenisnya tidak
lagi mendapat tempat. Terminologi tersebut lebih berfungsi sebagai slogan
politik ketimbang agenda pekerjaan. Yang akrab di telinga sekaligus sebagai
agenda kerja ekonomi adalah seputar pertumbuhan, daya saing, effisiensi dan
lain-lain.
Koperasi, yang lebih akrab dengan perpaduan terminologi
pertumbuhan dengan pemerataan, daya saing dengan solidaritas, dinilai tidak
sesuai dengan semangat ”perdagangan
bebas”. Karena itu, banyak yang kemudian berpendapat bahwa koperasi harus bisa
mengejar atau bersaing dengan konglomerat. Jelas, ini merupakan kesalahan fatal
dalam memandang koperasi, sekaligus merupakan kekalahan ”kubu” ekonomi
kerakyatan dalam perang wacana melawan kapitalisme. Koperasi berbeda
(berlawanan) dengan konglomerasi, baik bentuk, semangat, jiwa maupun tujuannya.
Terlebih lagi, konglomerasi merupakan kapitalisme kroni yang secara
substansial menyalahi sendi-sendi dasar kapitalisme itu sendiri.
Dalam pidatonya tanggal 12 Juli
1951, Bung Harra mengatakan bahwa koperasi adalah wadah aparat produksi
satu-satunya sebagai jawaban positif atas penolakan kita terhadap kapitalisme /
liberalisme dan penolakan kita terhadap Marxisme/Komunisme. Bagi Bung Hatta,
koperasi adalah program penerapan sistem ekonomi jangka panjang, sehingga waktu
itu (sekitar tahun 1950-an) keberadaan kapitalisme masih diperbolehkan, sembari
memperkokoh sendi-sendi koperasi. Untuk jangka panjang, Bung Hatta berharap
hanya sistem ekonomi koperasi yang berlaku di Indonesia dan tidak ada lagi sistem
kapitalisme di negeri ini.
Namun, apa yang terjadi setelah 58
tahun Indonesia merdeka ? Sistem Kapitalisme yang diberlakukan, koperasi
(sebagai soko guru/sisterm ekonomi) justru ditinggalkan. Kapitalisme mendapat
dukungan bukan hanya dalam bentuk intervensi asing, tapi juga berbentuk produk
kebijakan politik ekonomi dalam negeri yang memanjakannya. Sebaliknya, koperasi
justru dimarginalkan sebatas institusi untuk sekedar ada. Institusionalisasi
koperasi tentu berbeda dengan bangunan ekonomi sebagai suatu sistem.
Lembaga-lembaga koperasi merupakan bagian ekonomi rakyat, sedang koperasi
sebagai bangunan ekonomi tidak lain adalah ekonomi kerakyatan sebagai sistem /
bangunan ekonomi.
Dalam kekhawatirannya perihal akan
tergusurnya koperasi oleh kapitalisme, Bung Hatta juga pernah menyatakan : ”Kolonialisme
secara pemerintah jajahan sudah lenyap, sudah kita runtuhkan. Tetapi kapitalisme kolonial sebagai suatu kekuasaan
organisasi ekonomi masih kuat duduknya. Kekuasaannya itu hanya dapat dipatahkan
dengan membangun perekonomian rakyat di atas dasar koperasi”.
Agenda kita ke depan bukan hanya
memperkuat bangunan (sistem) ekonomi dalam bentuk koperasi (ekonomi
kerakyatan), tapi pada saat yang sama juga harus membatasi keserakahan kapitalisme
di Indonesia. Untuk agenda yang pertama (membangun ekonomi kerakyatan), kita
sudah melaksanakannya dalam bentuk slogan, meski belum pada substansi. Untuk
agenda yang ke dua (membatasi keserakahan kapitalisme), baik slogan maupun
substansi belum kita mulai.
DAFTAR
PUSTAKA
Makasih Lenaaa
BalasHapus*janji akan mencantumkan sumber